Senin, 12 Januari 2009

Yang Sempat Terlupa “Si Manis Enau”


Oleh: Nafi' Nur Setyaningsih H 0105019 Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dikenal memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa, baik flora, fauna maupun mikroba yang sebagian diantaranya bersifat endemik. Pengelolaan sumber daya hayati termasuk sumber daya genetika yang ada di dalamnya menjadi tanggung jawab yang berat terutama bagi pengambil keputusan, lembaga riset, perguruan tinggi maupun para intelektual.
Plasma nutfah adalah bahan dari tumbuhan, hewan, atau jasad renik, yang mempunyai fungsi dan kemampuan mewariskan sifat. Walaupun plasma nutfah sudah dimanfaatkan, namun perhatian manusia terhadap keberadaannya masih sangat terbatas. Salah satu plasma nutfah kekayaan alam Indonesia yang hampir punah adalah aren (enau). Meskipun telah lama dikenal sebagai tumbuhan produktif, namun belum ada upaya nyata ke arah pelestariannya.
Pengelolaan dan pembudidayaan tanaman aren perlu dilakukan mengingat tanaman aren memiliki keunggulan dalam mencegah erosi tanah terutama pada daerah-daerah yang terjal karena akar tanaman aren dapat mencapai kurang lebih enam meter pada kedalam tanah. Nira aren juga berpeluang untuk diolah menjadi salah satu alternatif biofuel, yaitu menjadi etanol.

Enau atau aren (Arenga pinnata, suku Arecaceae) adalah palma yang terpenting setelah kelapa (nyiur) karena merupakan tanaman serba guna. Tumbuhan ini dikenal dengan pelbagai nama seperti nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk (aneka nama lokal di Sumatra dan Semenanjung Malaya); kawung, taren (Sd.); akol, akel, akere, inru, indu (bahasa-bahasa di Sulawesi); moka, moke, tuwa, tuwak (di Nusa Tenggara), dan lain-lain. Bangsa Belanda mengenalnya sebagai arenpalm atau zuikerpalm dan bangsa Jerman menyebutnya zuckerpalme. Dalam bahasa Inggris disebut sugar palm atau Gomuti palm.
Aren memang sudah sejak lama dikenal para petani kita sebagai tanaman bernilai ekonomis. Namun hingga kini masukan ilmu dan teknologi pada aren masih sangat minimum. Berbeda dengan kelapa dan kelapa sawit, tanaman sefamili aren. Demikian pula masyarakat yang berprofesi sebagai pembuat gula merah, meskipun jumlahnya cukup banyak, tetapi masih mengandalkan pada Aren yang tumbuh secara alami, belum terpikirkan untuk melakukan penanaman secara langsung, ataupun penyeleksian bibit. Padahal tumbuhan yang seringkali dipandang sebelah mata ini, ternyata menyimpan potensi ekonomi yang luar biasa jika digarap secara optimal.
Nira Aren yang merupakan salah satu kekayaan nabati yang dimiliki Indonesia, tumbuh subur dan tersebar luas di seluruh pelosok nusantara.
Pohon aren ini mudah tumbuh. Memiliki asal-usul dari wilayah Asia tropis, aren diketahui menyebar alami mulai dari India timur di sebelah barat, hingga sejauh Malaysia, Indonesia, dan Filipina di sebelah timur. Di Indonesia, aren tumbuh liar atau ditanam, sampai ketinggian 1.400 m dpl.. Biasanya banyak tumbuh di lereng-lereng atau tebing sungai.
Berdasarkan hasil survei di Kecamatan Sibolangit, produktifitas Nira Aren dapat menghasilkan 20-50 liter/hari/pohon memiliki kadar gula 12-16% dan etanol 70-90% skala kecil (200-500) liter/hari/sentra. Belum semua semua Aren termanfaatkan, hal ini disebabkan faktor distribusi dan populasi aren yang tidak merata (Anonim, a2007). Sedangkan harga nira di Tomohon Rp. 2.000 perliter, 1 pohon menghasilkan minimal 10 lt/hari, 1 ha bs 150 pohon berarti hasil perhari 150×10x2.000 = Rp. 3.000.000 perhari (Viklund, 2008). Meskipun getahnya amat gatal, buah enau yang masak banyak disukai hewan. Musang luwak diketahui sebagai salah satu hewan yang menyukai buah enau ini, dan secara tidak langsung berfungsi sebagai hewan pemencar biji enau. Di Bangka, pada masa lalu orang-orang Tionghoa memasang perangkap di bawah pohon enau yang tengah berbuah, untuk menangkap rombongan babi hutan yang berpesta buah enau yang berjatuhan. Aren adalah tumbuhan yang dilindungi oleh undang-undang. 1. Pelestarian Pelestarian tanaman aren perlu dilakukan, mengingat banyaknya manfaat dari tanaman tersebut. Hanya saja agak lambat dalam perkembangannya menjadi komoditi agribisnis karena sebagian tanaman aren yang dihasilkan adalah tumbuh secara alamiah atau belum dibudidayakan. Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Plantae Divisi: Magnoliophyta Kelas: Liliopsida Ordo: Arecales Famili: Arecaceae Genus: Arenga Spesies: A. pinnata Nama binomial Arenga pinnata (Wurmb) Merr. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pembudidayaan tanaman aren yang sangat penting adalah sumber benih dan teknologi pembibitan aren. a. Sumber Benih Tanaman aren dapat dikembangkan secara generatif yaitu melalui biji dari pohon induk yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1) Batang pohon harus besar dengan pelepah daun merunduk dan rimbun Sampai saat ini tanaman aren yang tumbuh dilapangan dikategorikan dalam 2 aksesi yaitu Aren Genjah (pohon agak kecil dan pendek) dengan produksi nira antara 10 -15 liter/tandan/hari, dan Aren Dalam (pohon besar dan tinggi) dengan produksi nira 20 - 30 liter/tandan/hari. Untuk pohon induk dianjurkan adalah aksesi Dalam (Anonim, b2007). Oleh karena itu hal yang harus diperhatikan dalam memilih dan menentukan pohon induk sebagai sumber benih yaitu pohon yang sudah berbunga baik sistem pembungaan betina maupun sistem pembungaan jantan dan sedang disadap niranya. Hal ini penting karena tanaman aren dikenal sebagai tanaman hapaksantik yaitu fase reproduktifnya membatasi pertumbuhan batang dengan daya tahan hidup mencapai 3 tahun. 2) Pohon terpilih harus memiliki produktifitas yang tinggi Untuk mengetahui bahwa pohon induk yang telah dipilih sebagai sumber benih dari mayang betina dengan memiliki produktifitas nira yang tinggi antara 20 - 30 liter/mayang/hari, maka perlu dilakukan penyadapan nira dari mayang jantan pertama atau kedua. Sebab tidak semua mayang jantan yang keluar (9 - 11 mayang) dan tidak semua pohon mengeluarkan nira. Hal ini sangat dipengaruhi oleh proses fisiologi tanaman. Apabila yang disadap mayang jantan pertama atau kedua produksi niranya banyak maka pohon tersebut adalah produktif untuk pohon induk sebagai sumber benih. Pohon yang terpilih sebagi sumber benih dengan produksi nira yang banyak maka tidak dianjurkan untuk proses penyadapan untuk tandan-tandan selanjutnya secara berturut-turut. Bila pohon induk dilakukan penyadapan terus menerus (dipaksa) maka akan menghasilkan buah yang kelihatannya utuh tetapi bijinya berkerut bahkan kempes sehingga bila ditanam menghasilkan pohon aren yang tidak baik. b. Teknologi Pembibitan Tahapan penyediaan benih tanaman aren dilakukan sebagai berikut : 1) Pengumpulan buah Buah yang digunakan sebagai sumber benih harus matang, sehat yang ditandai dengan kulit buah yang berwarna kuning kecoklatan, tidak terserang hama dan penyakit dengan diameter buah 4 cm. Sebaiknya buah yang diambil adalah yang terletak dibagian luar rakila. Buah aren ini dapat disimpan selama 2 minggu pada karung plastik atau dus untuk memudahkan pemisahan biji (benih) dari kulit. 2) Pengambilan biji dari buah Pengambilan biji dari dalam buah aren harus menggunakan sarung tangan karena buah aren mengandung asam oksalat yang akan menimbulkan rasa gatal apabila kena kulit. Cara lain, yaitu dengan memeram buah-buah aren yang telah dikumpulkan sampai kulit buah menjadi busuk sehingga biji telah terpisah dari daging buah. Dengan cara ini, biji dapat diambil dengan mudah dan pada kondisi ini kulit buah aren tidak gatal lagi. 3) Perkecambahan Benih disemaikan dalam tempat pesemaian misalnya kotak plastik (Gambar 1) dengan media campuran pasir + serbuk gergaji (2:1). Cara untuk perkecambahan yaitu biji digosok dengan kertas pasir bagian punggungnya, tempat keluar apokol, selebar kira-kira 3 mm kemudian biji direndam dalam air agar air meresap ke dalam endosperm sampai jenuh, lalu disemaikan. Benih disiram setiap hari untukmempertahankan kelembaban yang tinggi sekitar 80%. c. Pembibitan Kecambah aren yaitu setelah terbentuk apokol yang telah mencapai panjang 3 - 5 cm dipindahkan ke tempat pembibitan atau dalam polybag yang berdiameter 25 cm. Media yang digunakan untuk pembibitan dalam kantong plastik (polibag) adalah tanah-tanah lapisan atas yang dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan 1:2, dan diisi ¾ bagian kantong polibag. Bibit yang telah ditanam memerlukan penyiraman dan naungan agar terhindar dari cahaya matahari secara langsung. Bibit aren dapat dipindahkan ke lapangan (ditanam) setelah berumur 6-8 bulan sejak daun pertama terbentuk. 2. Penyebaran Tanaman aren merupakan tanaman dari suku Palmae yang tersebar pada hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama terdapat di 14 provinsi, seperti: Papua, Maluku, Maluku Utara, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Kalimantan Selatan dan Nangroe Aceh Darussalam. Total luas di 14 provinsi sekitar 70.000 Ha. 3. Permasalahan Masalah pengembangannya adalah pengetahuan kita mengenai aren sangat minim dibandingkan kelapa sawit, kelapa, dan tebu. Kalau kita mau mengembangkan dalam skala regional dan nasional, pengetahuan tentang aren harus ditambah. Pengetahuan yang mendesak adalah mengenai seleksi tanaman yang mempunyai produktivitas tinggi dan cara perbanyakannya. Kedua, pengetahuan mengenai proses panen yang efisien dan efektif. Ketiga, transportasi nira dari pohon ke pabrik agar tidak rusak. Dan keempat, sistem pengolahan hasil yang modern. Dan tak kalah pentingnya masalah organisasi dan manajemen. Mulai dari organisasi petani, organisasi pabrik, dan organisasi distribusi dari petani ke pabrik, serta manajemen yang mengelola sistem agribisnis berbasis aren tersebut. Alasa-alasan mengapa pengembangan pohon aren dianggap masih terbelakang: 1. Sebagian besar tanaman aren tidak dibudidayakan. 2. Walaupun hampir seluruh bagian dari tanaman ini memiliki nilai ekonomis, penyebaran pertumbuhannya masih mengandalkan binatang liar seperti musang yang memakan buah aren masak dan mengeluarkan biji dalam kotorannya. Biji ini lah yang kelak akan tumbuh sebagai pohon aren baru. 3. Lokasi tumbuh pohon terlalu menyebar dan tidak jarang aren tumbuh diatas lereng-lereng terjal sehingga menyulitkan petani untuk menderes niranya. 4. Aspek sosial dari pekerjaan penyadapan nira dianggap tidak berprestise oleh generasi muda sehingga mereka lebih suka pergi ke luar desa mencari pekerjaan lain. Karena hal-hal tersebut diatas, bisa dipahami mengapa saat ini produsen gula semut aren kesulitan mendapatkan nira sebagai bahan baku produksi mereka.

Daftar Pustaka:
Anonim . a2007. Potensi Pengembangan BBN dari Nira Aren dengan Menggunakan Energi Panas Bumi di Sumatra Utara. http://www.ristek.go.id/index.php?mod=News&conf=v&id=1826.htm. 12 Maret 2008.
_______. b2007. Sumber Benih Dan Teknologi Pembibitan Aren. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/?p=berita.2.24. 12 Maret 2008.
_______. 2008. Enau. http://id.wikipedia.org/wiki/Enau. 12 Maret 2008.
Evi. 2006. Pertanian Yang Masih Terbelakang. http://arengasugar.multiply.com/journal/item/9/PERTANIAN_YANG_MASIH_TERBELAKANG.htm.12 Maret 2008.
Viklund, A. 2008. Potensi Besar Agribisnis Aren. http://ceds.wordpress.com/2008/01/21/potensi-besar-agribisnis-aren/htm. 12 Maret 2008.

ILLEGAL LOGGING MENCEKIK NAFAS BUMI

Oleh : Nafi' Nur Setyaningsih
H 0105019
Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret Surakarta


Sekarang ini, hal yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan adalah mengenai Global warming. Ketakutan masyarakat luas akan semakin bertambahnya panas di bumi ini yang disebabkan karena menipisnya lapisan ozon. Banyak sekali penyebab bertambah parahnya global warming, salah satu penyebab terbesar adalah keadaan hutan yang semakin menggundul. Mengingat bahwa hutan dunia adalah satu-satunya penghasil oksigen terbesar di dunia.

Kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia di tanah Kalimantan, termasuk penyebab berkurangnya luas hutan dunia. Pengambilan hasil hutan yang berlebih, seperti penebangan pohon tidak tebang pilih memperparah kejadian ini. Anjuran untuk setelah tebang menanam bibit pohon dengan perbanding 1:1000, sepertinya hanya sebagai kecapan para pengusaha kayu. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Bahkan yang lebih parah lagi adalah bila masyarakat setempat ikut-ikutan tidak bekerjasama menjaga keutuhan hutan. Terkadang masyarakat setempat berpikiran bahwa hutan itu milik mereka, sehingga terjadi penebangan tanpa izin pemerintah. Hal inilah yang disebut illegal logging.

Kasus ini di Indonesia bukanlah isu baru, ia telah berlangsung sejak masa Orde Baru. Illegal logging adalah sebuah bentuk aktivitas manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya hutan di luar sistem pengelolaan hutan lestari yang dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu secara sistematis baik dalam sebuah jaringan maupun cara-cara lain untuk kepentingan perorangan atau kelompok dengan cara illegal.

Illegal logging atau penebangan liar, yang di kepolisian dikenal dengan istilah tindak pidana bidang kehutanan, merupakan suatu aktivitas penebangan hutan tanpa izin atau tidak sesuai izin yang sah di dalam areal yang telah dibebani hak. Dampak buruk dari kegiatan ini, sering dirasakan dan disaksikan bersama oleh kita semua. Misalnya, banjir, tanah longsor, lahan kritis dan kesuburan lahan pertanian merosot tajam. Akan tetapi, selain dampak negatif kegiatan ini mempunyai dampak positif yang sangat nyata dan bersifat instant. Misalnya, income atau pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu, hasil usaha penanggulangan kegiatan ini seperti membuang garam ke laut.

Bagi masyarakat, kegiatan illegal logging tidak semata-mata hanya mengambil kayu pohon yang ditebang, melainkan membuka lahan bekas pohon tersebut untuk bercocok tanam bahkan untuk tempat tinggal. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh sekelompok penduduk saja, melainkan masing-masing anggota dari sekelompok peduduk tersebut. Bisa dibayangkan berapa ribu hektar hutan yang habis bila hal ini dilakukan tidak hanya oleh sekelompok penduduk.

Menurut data olahan Tempo (22 Juli 2007), sejak tahun 2001 hingga 2006 jumlah penebangan illegal berkisar antara 19 hingga 27 juta meter kubik per tahun, atau rata-rata 23 juta meter kubik per tahun dalam 5 tahun terakhir. Angka tersebut jika dianalogikan dengan luas hutan yang ditebang mencapai 27 kilometer persegi setiap tahunnya, setara dengan 40 kali luas Jakarta. Negarapun dirugikan hingga Rp 45 trilyun per tahun.

Sesungguhnya, usaha penanggulangan penebangan liar telah dilaksanakan, dana telah dikucurkan dan program telah pula dijalankan. Bahkan masalah illegal logging ini merupakan salah satu prioritas Departemen Kehutanan di era Kabinet Indonesia Bersatu. Ini mengindikasikan, pemerintah telah mempunyai political will yang baik dan serius untuk mengatasi penebangan liar ini. Pemerintah telah lama menyoroti keadaan tersebut dengan mengeluarkan undang-undang untuk menanganinya. Tapi seolah-olah undang-undang tersebut vakum di mata masyarakat. Seperti SK Menteri Pertanian no.268/KPTS/Ilmu/8/1981 yang mengatur tentang penatagunaan lahan, hanya sebagai jawaban dari keresahan tentang lahan pertanian berpindah yang sering dilakukan para pertani buruh.

Tingkat aktivitas illegal logging dipengaruhi oleh tingkat penegakan hukum, kesadaran hukum, dan kesejahteraan masyarakat. Dengan asumsi jika aparat penegak hukum mampu meningkatkan tindakan preventif dan represif, kesadaran hukum masyarakat dapat ditingkatkan, serta kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor illegal logging maupun yang tinggal disekitar kawasan hutan dapat ditingkatkan, maka aktivitas illegal logging akan dapat ditekan/dikurangi.

Pertambahan penduduk dunia antara lain berimplikasi pada meningaktnya kebutuhan akan lahan, baik untuk pemukiman maupun untuk sarana dan prasarananya. Hal ini yang memicu masyarakat melakukan illegal logging. masyarakat sebenarnya tidak ingin menebang pohon karena hal itu pekerjaan yang sangat berat jika mereka mempunyai kesempatan untuk mengorupsi, berkolusi dan bernepotisme. Atau minimal, mempunyai pekerjaan dengan penghasilan yang dapat menghidupi dan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Tapi sayang, akses yang paling dekat dengan mereka hanyalah sumberdaya hutan.

Jika upaya penanggulangan illegal logging masih seperti sekarang, maka lebih baik diskusi atau seminar tentang masalah ini tidak perlu dilaksanakan lagi. Dan apabila kegiatan illegal logging dihentikan diduga akan menimbulkan dampak sosial yang cukup besar.

Dapat disimpulkan, kemiskinanlah penyebab maraknya kegiatan illegal logging. Oleh sebab itu, agar penanggulangannya tidak berdampak sosial yang serius, meningkatkan kesejahteraan masyarakat terlebih dahulu harus menjadi prioritas. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat ini merupakan kewajiban kepala dan wakil kepala daerah, sebagaimana dituangkan dalam UU 32/2004. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan adalah pemberdayaan masyarakat.

Faktor-faktor yang menyebabkan aktivitas illegal logging sulit diberantas dan cenderung meningkat adalah masih Iemahnya penegakan hukum, yang disebabkan oleh terbatasnya jumlah aparat penegak hukum. Ujung tombak kegiatan penebangan liar ini adalah masyarakat sekitar hutan dan atau di luar hutan yang tidak mempunyai pekerjaan tetap serta kondisi sosial ekonomi mereka sebagian besar relatif masih rendah.

Agar upaya penanggulangan kegiatan illegal logging lebih efisien, idealnya yang ditangkap adalah kayu yang sudah berada di atas truk, ponton, rakit dan atau kapal, yang sudah jauh dari masyarakat. Kalau yang ditangkap seperti itu, maka diyakini tidak menyakiti masyarakat secara langsung.

Sekarang ini, hal yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan adalah mengenai Global warming. Ketakutan masyarakat luas akan semakin bertambahnya panas di bumi ini yang disebabkan karena menipisnya lapisan ozon. Banyak sekali penyebab bertambah parahnya global warming, salah satu penyebab terbesar adalah keadaan hutan yang semakin menggundul. Mengingat bahwa hutan dunia adalah satu-satunya penghasil oksigen terbesar di dunia.

Kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia di tanah Kalimantan, termasuk penyebab berkurangnya luas hutan dunia. Pengambilan hasil hutan yang berlebih, seperti penebangan pohon tidak tebang pilih memperparah kejadian ini. Anjuran untuk setelah tebang menanam bibit pohon dengan perbanding 1:1000, sepertinya hanya sebagai kecapan para pengusaha kayu. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Bahkan yang lebih parah lagi adalah bila masyarakat setempat ikut-ikutan tidak bekerjasama menjaga keutuhan hutan. Terkadang masyarakat setempat berpikiran bahwa hutan itu milik mereka, sehingga terjadi penebangan tanpa izin pemerintah. Hal inilah yang disebut illegal logging.

Kasus ini di Indonesia bukanlah isu baru, ia telah berlangsung sejak masa Orde Baru. Illegal logging adalah sebuah bentuk aktivitas manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya hutan di luar sistem pengelolaan hutan lestari yang dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu secara sistematis baik dalam sebuah jaringan maupun cara-cara lain untuk kepentingan perorangan atau kelompok dengan cara illegal.

Illegal logging atau penebangan liar, yang di kepolisian dikenal dengan istilah tindak pidana bidang kehutanan, merupakan suatu aktivitas penebangan hutan tanpa izin atau tidak sesuai izin yang sah di dalam areal yang telah dibebani hak. Dampak buruk dari kegiatan ini, sering dirasakan dan disaksikan bersama oleh kita semua. Misalnya, banjir, tanah longsor, lahan kritis dan kesuburan lahan pertanian merosot tajam. Akan tetapi, selain dampak negatif kegiatan ini mempunyai dampak positif yang sangat nyata dan bersifat instant. Misalnya, income atau pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu, hasil usaha penanggulangan kegiatan ini seperti membuang garam ke laut.

Bagi masyarakat, kegiatan illegal logging tidak semata-mata hanya mengambil kayu pohon yang ditebang, melainkan membuka lahan bekas pohon tersebut untuk bercocok tanam bahkan untuk tempat tinggal. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh sekelompok penduduk saja, melainkan masing-masing anggota dari sekelompok peduduk tersebut. Bisa dibayangkan berapa ribu hektar hutan yang habis bila hal ini dilakukan tidak hanya oleh sekelompok penduduk.

Menurut data olahan Tempo (22 Juli 2007), sejak tahun 2001 hingga 2006 jumlah penebangan illegal berkisar antara 19 hingga 27 juta meter kubik per tahun, atau rata-rata 23 juta meter kubik per tahun dalam 5 tahun terakhir. Angka tersebut jika dianalogikan dengan luas hutan yang ditebang mencapai 27 kilometer persegi setiap tahunnya, setara dengan 40 kali luas Jakarta. Negarapun dirugikan hingga Rp 45 trilyun per tahun.

Sesungguhnya, usaha penanggulangan penebangan liar telah dilaksanakan, dana telah dikucurkan dan program telah pula dijalankan. Bahkan masalah illegal logging ini merupakan salah satu prioritas Departemen Kehutanan di era Kabinet Indonesia Bersatu. Ini mengindikasikan, pemerintah telah mempunyai political will yang baik dan serius untuk mengatasi penebangan liar ini. Pemerintah telah lama menyoroti keadaan tersebut dengan mengeluarkan undang-undang untuk menanganinya. Tapi seolah-olah undang-undang tersebut vakum di mata masyarakat. Seperti SK Menteri Pertanian no.268/KPTS/Ilmu/8/1981 yang mengatur tentang penatagunaan lahan, hanya sebagai jawaban dari keresahan tentang lahan pertanian berpindah yang sering dilakukan para pertani buruh.

Tingkat aktivitas illegal logging dipengaruhi oleh tingkat penegakan hukum, kesadaran hukum, dan kesejahteraan masyarakat. Dengan asumsi jika aparat penegak hukum mampu meningkatkan tindakan preventif dan represif, kesadaran hukum masyarakat dapat ditingkatkan, serta kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor illegal logging maupun yang tinggal disekitar kawasan hutan dapat ditingkatkan, maka aktivitas illegal logging akan dapat ditekan/dikurangi.

Pertambahan penduduk dunia antara lain berimplikasi pada meningaktnya kebutuhan akan lahan, baik untuk pemukiman maupun untuk sarana dan prasarananya. Hal ini yang memicu masyarakat melakukan illegal logging. masyarakat sebenarnya tidak ingin menebang pohon karena hal itu pekerjaan yang sangat berat jika mereka mempunyai kesempatan untuk mengorupsi, berkolusi dan bernepotisme. Atau minimal, mempunyai pekerjaan dengan penghasilan yang dapat menghidupi dan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Tapi sayang, akses yang paling dekat dengan mereka hanyalah sumberdaya hutan.

Jika upaya penanggulangan illegal logging masih seperti sekarang, maka lebih baik diskusi atau seminar tentang masalah ini tidak perlu dilaksanakan lagi. Dan apabila kegiatan illegal logging dihentikan diduga akan menimbulkan dampak sosial yang cukup besar.

Dapat disimpulkan, kemiskinanlah penyebab maraknya kegiatan illegal logging. Oleh sebab itu, agar penanggulangannya tidak berdampak sosial yang serius, meningkatkan kesejahteraan masyarakat terlebih dahulu harus menjadi prioritas. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat ini merupakan kewajiban kepala dan wakil kepala daerah, sebagaimana dituangkan dalam UU 32/2004. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan adalah pemberdayaan masyarakat.

Faktor-faktor yang menyebabkan aktivitas illegal logging sulit diberantas dan cenderung meningkat adalah masih Iemahnya penegakan hukum, yang disebabkan oleh terbatasnya jumlah aparat penegak hukum. Ujung tombak kegiatan penebangan liar ini adalah masyarakat sekitar hutan dan atau di luar hutan yang tidak mempunyai pekerjaan tetap serta kondisi sosial ekonomi mereka sebagian besar relatif masih rendah.

Agar upaya penanggulangan kegiatan illegal logging lebih efisien, idealnya yang ditangkap adalah kayu yang sudah berada di atas truk, ponton, rakit dan atau kapal, yang sudah jauh dari masyarakat. Kalau yang ditangkap seperti itu, maka diyakini tidak menyakiti masyarakat secara langsung.